Riya’ adalah memperlihatkan atau menonjolkan amal kebaikan yang dilakukan dengan maksud mendapatkan pujian dari orang lain, sehingga ia dikenal, dihargai, dihormati, dan sebagainya.Pengertian ini muncul, mengingat riya’ secara bahasa merupakan bentuk mashdar (kata benda) dari kata raa’a-yuraa’i, yang memiliki arti melakukan sesuatu agar orang lain bisa melihatnya kemudian memujinya. Sedangkan, menurut Al-Ghazali kata riya’ terambil dari kata ru’yah yang berarti “melihat”. Lebih lanjut menurut Al-Ghazali, riya’ didorong oleh kesenangan mendapat pujian dan tidak senang mendapat kritikan atau celaan.
Diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah S.A.W pernah ersabda bahwa orang pertama yang akan dihakimi pada hari kiamat adalh seseorang yang mati syahid. Allah lalu mendatanginya, dan mengenalkan nikmat-nikmat-Nya, lalu orang itu juga mengenalnya. Allah bertanya kepadanya: “Tahukah engkau akan nikmat-nikmat itu?”. Orang itu menjawab: “Aku berperang di jalanMu, sehingga aku mati syahid”. Allah berkata: “Engkau bohong. Sebaliknya, engkau berperang untuk dikatakan pemberani”, kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya lalu dilemparkan ke dalam neraka.
Selain
itu, ada seseorang yang dahulu mempelajari ilmu, mengamalkannya, dan membaca
Al-Qur’an. Allah mendatanginya dan mengenalkan nikmat-nikmat-Nya dan diapun
mengakuinya. Allah bertanya: “Apa yang telah engkau ketahui tentang nikmat
itu?”, orang itu menjawab: “Aku telah belajar ilmu dan mengamalkannya serta
membaca Al-Qur’an di jalan-Mu”. Allah menyanggah: “Engkau bohong. Sebaliknya,
engkau membaca Al-Qur’an itu agar disebut qari’
(pembaca dengan suara merdu)”, kemudian Allah memerintahkan malaikat untu
menyeretnya lalu dilemparkan ke dalam neraka.
Ada
lagi seseorang yang dahulu dilapangkan rizkinya oleh Allah S.w.T dan diberinya
segala macam harta benda. Allah pun mendatanginya dan mengenalkan
nikmat-nikmat-Nya dan diapun mengakuinya. Allah lalu bertanya dengan pertanyaan
yang sama seperti sebelumnya: “Apa yang telah engkau ketahui tentang nikmat
itu?”, orang itu menjawab: “Aku sama sekali tidak pernah meninggalkan jalan
yang Engkau inginkan agara dibelanjakan harta di dalamnya melainkan aku selalu
membelanjakannya karena mengharap ridha-Mu?”. Allah menyatakan: “Engkau dusta.
Engkau melakukan itu agar dikatakan sebagai dermawan!”, kemudian Allah
memerintahkan malaikat untuk menyeretnya lalu dilemparkan ke dalam neraka.
Sungguh,
Hadits tersebut memberi peringatan yang sangat jelas dan tegas bahwa riya’ merupakan penyakit hati (amradh al-qalbi) yang sangat berbahaya
karena dapat merusak amal baik sekaligus dapat menyeret pelakunya masuk neraka.
Menurut Imam al-Ghazali, esensi riya’
itu adalah mencari kedudukan dalam hati orang lain dengan cara memperlihatkan
perbuatan baiknya. Sehingga dengan begitu ketaatannya kepada Allah itu mendapat
pujian dari orang lain. Sedangkan menurut Hasan al-Basri, riya’ itu pada dasarnya perbuatan hati yang menginginkan pujian
dari orang lain. Orang yang riya’
itu, kata Luqman Hakim, adalah yang mengharapkan balasan amalnya di dunia,
bukan di akhirat.
Menurut para ulama, riya’ termasuk perbuatan syirik
(menyekutukan Allah S.w.T) yang harus dijauhi. Sedemikian berbahayanya, orang
yang mengerjakan sholat dengan riya’
dinilai sebagai orang yang celaka.“Maka celakalah orang-orang yang sholat, yaitu orang-orang yang lalai terhadap sholatnya, yang berbuat riya’, dan enggan memberikan bantuan.”(Qs. Al-Ma’un [107]:4-7)
Riya’ juga berbahaya bagi pelaku karena
amal ibadah yang dilaksanakannya tidak berbuah akhlak mulia. Karena tersandera
oleh riya’, amal ibadahnya menjadi
tidak bermakna, tidak ada ruhnya, sekaligus tidak berpahala sama sekali. Allah
berfirman:
“Hai orang-orang beriman , janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerimanya), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah ia bersih (tidak bertanah)...” (QS.Al-Baqarah [2]: 264)
Al-Qur’an
menginformasikan bahwa riya’
merupakan salah satu indikator orang munafik. Orang yang bermuka dua itu
biasanya cenderung mmelakukan “pencitraan” di muka publik, padahal sejatinya ia
telah menipu Allah dan menipu diri sendiri. Allah S.w.T berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk sholat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan sholat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”
(QS.An-Nisa’[4]: 142)
Wallahua’lambish-shawab.